Total Tayangan Halaman

Jumat, 25 November 2011


BOCAH PEJUANG ILMU
Da_po3try
Aku Nur Ilmi, usiaku baru menginjak 7 tahun enam bulan yang lalu. Setiap ulang tahunku ayah selalu menceritakan arti dan harapan dibalik namaku. Ayah berharap aku bisa menjadi cahaya dalam pendidikan dan mengangkat derajat orang tuaku.
Aku adalah anak desa yang terlahir dari bantuan dukun beranak, meskipun dilahirkan dengan peralatan sederhana tapi aku dapat menghirup udara segar bumi. Desaku terletak di pinggiran sungai, sungai yang mempunyai aliran air yang sangat deras. Sungai inilah yang sangat membantu keluargaku untuk mempertahankan hidup.
Aku hanya hidup bersama ibu dan abang. Ayahku sudah pergi meninggalkan aku dan keluarga. Meninggal akibat terseret arus sungai yang deras enam bulan yang lalu, di saat ulang tahunku yang ke-7. Saat itu hujan terus berjatuhan dari langit dengan derasnya disertai angin kencang. Ayah yang pulang dari berjualan di pasar melewati jembatan gantung, jembatan yang menjadi salah satu penghubung antar desa. Tiba-tiba angin menggulung air dan menciptakan gelombang besar. Gelombang itu menumbuk jembatan yang saat itu ayah berada di tengah-tengah jembatan. Jembatan itu hancur, kepingan kayu berterbangan dan ayah terpental sejauh 1 km dari jembatan. Jasad ayah baru ditemukan tiga hari setelah kejadiaan, tubuh ayah kaku dan ditangannya memegang sebuah sangkek besar. Sangkek itu tidak bisa dilepaskan dan keluarga memutuskan untuk mengguntingnya. Betapa terkejutnya aku dengan isi sangkek itu. Sebuah boneka beruang besar tersenyum padaku dan dibajunya bertuliskan nur ilmi, di dalam baju beruang itu terdapat amplop biru yang telah basah. Tulisan ayah untuk terakhir kalinya “jadilah cahaya kehidupan anakku, apapun rintangan yang engkau temukan jangan pernah berhenti untuk belajar.” Pesan terakhir ayah yang baru bisa aku baca seminggu setelah jasad ayah ditemukan.
Pendapatan keluargaku tidak menentu setelah kepergiaan ayah. Ibu hanyalah buruh pabrik kecap , sebuah pabrik yang sangat besar terletak di perbatasan desa. Sebelum berangkat pergi berkerja, ibu membuat berbagai macam kue sebagai penghasilan tambahan keluargaku. Walau untungnya pas-pasan.
***
Aku selalu pergi sekolah dengan berjalan kaki, tak ada teman yang pergi ke sekolah bersamaku. Di desaku sekolah bukan hal yang sangat penting karena bagi mereka sekolah hanya tempat untuk menghabiskan uang dan mereka menganggap lebih baik anak mereka membantu untuk mencari uang. Aku selalu pergi sekolah pagi-pagi karena jarak rumahku dan sekolah sangat jauh dan aku harus melewati jembatan tali yang panjangnya 200 meter yang membutuhkan waktu 30 menit. Tali tambang inilah yang menjadi jembatan sementara pasca bencana itu. Walau ibu selalu melarangku untuk melewati tali tambang itu tapi aku tetap saja melanggarnya karena uang yang digunakan untuk menyeberang rakit aku tabung untuk aku bersekolah. Berpegang dengan sebuah tali tambang dan berpijak dengan tali juga membuatku harus hati-hati karena aku harus menyeimbangkan tubuhku dan tasku yang mungkin sama beratnya karena tasku berisi kue-kue jualan ibu.  Aku takut ketika tubuh kecilku ini tertiup angin saat di tengah jembatan tali, aku takut nasibku sama seperti ayah. Andai nasibku sama, aku malu pada ayah karena tidak bisa membanggakan ayah. Aku malu pada diriku karena aku tak bisa menjaga tubuh kecil ini. Tapi, semua ini harus aku lakukan dari pada aku mengeluarkan uang dua ribu untuk sekali menyeberang dan jika bolak balik menjadi empat ribu lebih baik uang itu aku tabung.
***
Satu jam lebih perjalanan telah aku tempuh, sekolah telah menantiku dan memanggil aku untuk segera berlajar.
“Nur kamu sudah mengerjakan pr?”Tanya teman sebankuku.
“sudah.” Dengan bangga kutunjukkan hasil pekerjaanku.
Pr itu aku kumpulkan, hasil perangku semalam melawan detik-detik padamnya lilin karena minyak lampu rumahku habis dan ibu hanya menyimpan setengah lilin. Pelajaran matematika ini telah banyak membantu aku. Aku bisa menghitung, mengenal uang, dan dapat mengetahui waktu.
Bel tanda keluar mainpun berdering tapi ini tidak berlaku bagiku. Bagiku bel itu menandakan waktunya untuk berjualan. Berjualan kue ibu, setiap kelas aku kunjungi untuk menawarkan kue tapi tak jarang aku menawarkan kue ke ruang guru. Ruang inilah bagaikan surgaku karena guru-guru sering memborong kueku sampai habis. Setelah kue-kueku habis, aku segera pergi ke perpustakaan sekolah. Perpustakaan ini tempat aku bermain, bermain dengan tumpukan buku.
“Sudah selesai nur bukunya di baca?” sapa guru yang mengawasi perpustakaan.
“sudah bu, ini nur mau kembalikan buku dan meminjam buku yang lain lagi.”
Guru itu hanya tersenyum memandangiku, karena aku setiap hari selalu ke perpustakaan ini. Walau pengunjung perpustakaan ini hanya aku  tapi aku bagaikan ditempat keramaian karena banyak orang pintar yang menawarkan kepintarannya kepadaku dan selalu menyapaku, meski mereka menyapaku lewat goresan pena. Entah berapa buku yang telah aku baca di perpustakaan ini, semenjak aku bisa membaca. Aku selalu meminjam buku di perpustakaan ini satu-satu karena aku tak mau kalau aku meminjam dua buku aku tidak bisa menyapa perpustakan ini setiap hari.
***
Aku selalu pulang sekolah langsung ke rumah, walau ibu belum pulang. Tapi, aku sudah dibiasakan untuk menggambil makanan sendiri untuk makan siangku. Setelah aku mengganti pakaian dan makan siang, aku segera menggambil kail untuk memancing. Hal inilah yang bisa aku lakukan agar aku bisa makan enak. Makan malam dengan  hasil pancingan sendiri, rasanya sangat nikmat. Aku memancing sambil membaca buku, agar aku tidak bosan untuk menunggu umpanku di makan ikan. Akupun menuruni tangga yang di bentuk dari tanah yang ada di pinggiran sungai. Walau licin tapi aku tetap semangat untuk melangkah. Aku duduk di pinggiran susunan bambu dan mulai melemparkan kailku.
“ikan, sentuhlah umpanku. Agar aku bisa makan enak malam ini.” Aku seolah berkata pada ikan yang ada di sungai. Aku tidak pernah memikirkan ikan itu mendengar permintaanku atau tidak. Aku terus membaca sampai umpanku di makan oleh ikan.
“nur kamu rajin sekali memancingnya.” Tegur seorang tetanggaku yang hendak mandi di sungai itu.
“iya wak, nur harus rajin memancing agar nanti malam nur bisa makan ikan. Wak mau mandi yah?” aku menatap wak itu sambil berharap wak menunda mandi sampai aku mendapatkan ikan.
“iyalah nur, wak nih mau mandi, dak liat kau. Wak dah pakek kemben kayak gini. Eh nur kau ngapo ngotot mau sekolah? Kasian ibu kau tuh, dah di tinggal laki harus nanggung beban sekolah kau. Abang kau enak tinggal di pesantren, gratis. Nah kau cuma bisa nyusahin ibu kau. Wak nih kasihan liat ibu kau tu senjak di tinggal ayah kau, dia harus banting tulang. Dak kasihan kau dengan ibu kau?” tetanggaku ini menjelaskan hidup keluargaku seperti dia sangat memahami keadaanku dan keluarga, tapi dia tidak tahu harapan besar di balik tembok sekolah.
“wak, nur hanya ingin mewujudkan harapan ayah.”
“harapan ayah kau tu dah nyikso ibu kau, nah sekarang kau mancing ikan dan baco buku terus setiap hari. Rusak kagek mato kau tu. Kau mau mato kau buto?”
Membaca tu dak membuat mato orang buto wak, tapi kalau bacanyo sambil tidur tu yang biso buat mato rusak.”
Perdebatan panjang akan pentingnya sekolah telah menghabiskan banyak waktu, karena buku yang aku bawa tidak bisa aku baca sampai selesai. Umpanku seperti ditarik ikan. Akupun menariknya ke atas. Meski ikan itu tidak terlalu besar tapi cukup untuk makan malam aku dan ibu. Aku pun meminta izin pada wak agar naik ke atas duluan.
Sesampai aku di rumah, ternyata ibu sudah pulang. Aku letakkan ikan di dapur dan aku melanjutkan untuk menyelesaikan  buku yang aku baca sebelum hari mulai malam. Pr-pr aku kerjakan dan setelah semua selesai, aku menolong ibu untuk mempersiapkan makan malam. Makan malam dengan hasil pancingan sendiri terasa nikmat di lidah dan mengenyangkan di perut.
“nur, ini ada Koran . ibu bawa dari pabrik.” Ibu memberikan Koran kepadaku karena dia tahu aku sangat suka membaca.
“terimakasih bu, bu ini uang hasil pendapatan jualan kue. Tadi semua kue nur habis terjual.” Aku sangat bersemangat bercerita pada ibu dan ibu memberikan senyuman terindahnya padaku. Senyuman ibu bisa membuat aku menjadi damai. Ibu selalu memberikan hasil keuntungan kue yang aku jual padaku. Aku menabung semua uang yang diberikan ibu tanpa aku gunakan untuk membeli jajanan. Tabunganku yang tampak sesak di penuhi uang, membuat aku berpikir untuk membuat celengan baru. Aku tidak bisa seperti dulu, merengek pada ayah untuk membelikan aku sebuah celengan. Aku sekarang hanya tinggal sama ibu, aku tidak boleh menyusahkan ibu.
Aku membuat celenganku dari sebilah bambu yang aku minta pada wak. Wak adalah seorang penjual lamang tapai jadi aku bisa meminta bambu yang tidak terpakai pada wak. Celengan baru telah aku dapatkan, aku deretkan celengan itu dengan celengan baruku. Tampak berbeda tapi aku sangat senang karena tidak menyusahkan ibu.
***
Hari ini adalah hari aku menerima laporan hasil belajarku selama setahun. Jantugku dag dig dug di buat penantiaan ini. Guruku bilang jika siswanya mendapat tiga besar, akan mendapat beasiswa pendidikan dari salah satu produk susu yang sangat laris. Aku tidak tahu apa arti beasiswa itu, yang terpenting kalau aku rangking 1,2 dan 3 aku akan mendapatkan uang.
Pengumuman itu dimulai dari rangking yang paling bawah. Aku tertunduk penuh harap agar aku mendapatkan uang itu. Nama-nama telah disebutkan guruku dengan suara yang sangat pelan. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya aku bisa tertidur di meja tempat aku duduk. Teman-teman dan guruku membangunkanku, aku terbangun dan melihat semua mata tertuju padaku.
“ma’af bu, nur tertidur.”
“ya, tidak apa-apa. Nur kamu meraih juara satu.”
“benarkah bu?”
Guruku hanya menjawabnya dengan senyuman manisnya dan anggukan kebenaran. Seolah aku tidak percaya dengan semua ini. Spontan aku tegak dan lompat-lompat di atas kursi dan memeluk guruku tersayang. Aku senang uang satu juta itu akhirnya untukku. Aku tidak tahu kalau uang itu ditukarkan akan sebanyak mana. Aku membayangkan, kalau aku tukar dengan uang sepuluh ribu aku akan mendapatkan uang satu tasku ini. Betapa senang ibu nanti kalau aku pulang membawa uang ini. Uang yang akan aku simpan untuk sekolahku yang lebih tinggi lagi.
***
Aku pulang ke rumah yang seperti biasanya aku harus melewati jembatan tali itu. Aku teramat senang di jembatan tali aku masih beronjak-onjak sampai akhirnya tubuhku tidak bisa aku seimbangkan. Di tengah jembatan tali aku seolah melihat bayangan ayah sampai aku jatuh bebas ke sungai. Para tukang rakit yang melihat kejadiaan itu langsung  menyelamatkan tubuh kecilku ini dan membawaku pulang ke rumah. Ibu yang masih bekerja di pabrik langsung dipanggil untuk pulang. Ibu sangat sedih dengan kejadiaan ini. Ibu tidak mau di tinggal orang-orang yang dia sayangi lagi.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur di pangkuan ibu. Aku tersadar dari tidurku dan melihat mata ibu yang sembab. Ibu ma’afkan aku, aku tidak bermaksud membuat ibu menanggis.
“bu..”
“kamu sudah sadar nur.”
“bu nur mendapatkan uang banyak.”
“apakah karena uang banyak itu nur, kamu bisa jatuh ke sungai?”
“iya…”
Ibuku hanya tersenyum padaku. Senyumannya memang selalu membuat hatiku menjadi damai. Aku tak mau membuat ibu menanggis lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar