Total Tayangan Halaman

Senin, 28 November 2011

Hias Daerah Jambi


HIAS DAERAH JAMBI




Ditulis Oleh Herman   
Sunday, 03 May 2009
Dalam konteks sejarah kebudayaan, wilayah Provinsi Jambi dari sejak masa lalu telah menjadi kawasan penting. Kenyataan ini dapat dibuktikan dari tinggalan produk budaya yang ada. Di wilayah kabupaten Kerinci dan Merangin, banyak ditemukan situs dan benda-benda budaya masa prasejarah berupa batu bergambar, batu silindrik dan menhir. Begitu juga di wilayah lainnya, mulai dari daerah pegunungan hingga ke wilayah pesisir pantai timur, banyak ditemukan tinggalan produk budaya masa Melayu kuno (Budhis) hingga masa Islam.
Salah satu bentuk tinggalan yang tidak ternilai harganya dan patut dilestarikan serta dikembangkan adalah ragam hias. Ragam hias yang ada  sangat beragam bentuk, bahan, fungsi dan kegunaannya. Berdasarkan dari penggunaan bahan, ragam hias daerah Jambi dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu ragam hias ukiran, anyaman, tenunan, sulaman dan batik. Jika dilihat dari sisi fungsi dan kegunaannya, maka dapat dibedakan menjadi tiga pemaknaan, yaitu: pemaknaan religi, simbolik dan keindahan.
                                       
Ditinjau dari sisi perkembangannya, ragam hias yang terdapat di daerah Jambi tidak terlepas dengan pengaruh perkembangan sejarah kebudayaan dari masa prasejarah, Melayu kuno (budhis), Melayu Islam dan sekarang. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari tinggalan ragam hias yang ada, seperti motif ukiran yang ada di batu silindrik dan batu bergambar. Motif-motif dari tinggalan ini lebih bernuansa religius dan simbolik dibandingkan dengan nilai estetiknya. Begitu juga pada masa Melayu kuno sebelum masuknya faham Budha, ragam hias yang digunakan banyak dipengaruhi oleh faham animisme. Simbol-simbol motif yang digunakan mengacu pada kepentingan ritual sesuai dengan keyakinannya.

Pada masa pengaruh Budhis, simbol-simbol motif yang digunakan di samping mengandung nilai estetis, juga mengandung makna simbolik yang berkaitan dengan faham Budhis, wujud motifnya banyak menggunakan motif manusia, flora dan fauna. Lain halnya pada masa Islam, ragam hias yang digunakan lebih ditekankan pada nilai estetik dan pemaknaan simbolik yang ada keterkaitannya dengan sistem sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Motif yang digunakan lebih banyak motif flora, sedang simbol-simbol keagamaan lebih banyak menggunakan motif kaligrafi.

Sabtu, 26 November 2011

Puisi


KOSONG
Da_po3try
Ketika hati kering kerontang,
Jiwa-jiwa kehausan,
Asa yang tinggi serentang menerjang,
Tajamnya sengatan angin zaman.
Dosa-dosa penghalang diri pada cahaya illahi,
Syahwat pengemudi perbuatan,
Menutup jalan mengunci pintu.

Ketuklah pintu sang illahi,
Ketika jeritan kehidupan tak mampu mengalahkan gulungan ombak kelemahan.
Ketika rintihan kesakitan tak mampu mengalahkan teriakan kemiskinan.
Ketika sang kaya bersandar pada hartanya.
Sandarkan iman kepada Allah dan teriak minta tolong
Ya Rabb..!

Waktu bak mengalir di tengah lelahnya jiwa.
Cucuran air mata tak dapat diterka oleh makna.
Gema kebenaran selalu merong-rong telinga.
Melangkahkan kaki,
Menghunuskan panah kamalasan.
Tidur terkejut lalu terbang.

Jumat, 25 November 2011

Cerpen


TANGISAN PAHIT
Angin bagaikan berhembus lembut merayuku, menerbangkan tetesan air penyesalan. Air yang tak pernah aku ingin sebagai air penyesalan. Langit nan cerah seolah mengajakku untuk menatap masa depan. Masa yang terus kurajut menjadi sebuah impian yang nyata. Tapi semua itu sirna hanya karena kata adil.
Adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak, berpegang pada kebenaran. Hanya itu yang ku tahu dan pernah ku baca pada kamus bahasa Indonesiaku. Tapi aku heran dimana arti keadilan itu, hanya bersembunyikah dia di dalam kamus-kamus atau hanya kata kunci sebuah pernyataan. Ah, aku pusing kalau menginggat keadilan dalam hidup ini.
Burung-burung berkicau dengan merdu, terbang tinggi bebas ke langit biru. Tak tahukah dia kalau hatiku sedang bernyanyi sendu, terpenjara dalam kerangkeng keadilan. Aku cemburu padamu burung. Bisakah kau pinjamkan sayapmu sehari padaku agar aku bisa menyatukan hidupku pada alam yang damai. Bisakah kau ajarkan padaku kicauan nan merdumu agar tak lagi ku senandungkan lagu sendu ini di hatiku. Bisakah kau bantu aku? Apa kau dengar aku burung? Teriakanku telah menggema di kebun ini, aku tanya padamu sekali lagi. Apakah kau dengar aku? Sudahlah tak usah kau perdulikan aku, agap saja semua itu hanya nyanyian senduku. Kau sama saja seperti yang lain. Bergembira di langit nan biru dan tidak memperdulikan aku. Pergilah kau dari kebunku, aku cemburu padamu.
Aku sendiri di pondok kebun ini, meratapi sebuah kertas yang bernilai tetesan keringat ayah. Kertas yang tak ada gunanya di mata orang lain. Tapi kertas itu telah membuat perjuangan aku dan ayah terasa sia-sia. Berapa tetes keringat yang telah dia keluarkan untuk mendapat kertas ini? Aku malu pada ayah. Aku telah menyia-nyiakan pengorbanannya. Kenapa aku tak bisa membayarnya dengan manis? Kenapa aku membayarnya dengan ... . Ah, aku tak tega memperlihatkan kertas itu pada ayah. Aku takut ayah kecewa, tetesan keringat yang dia korbankan aku bayar lunas dengan kekecewaan. Aku sungguh menyesal ayah. Tapi sungguh aku telah mengerahkan semua tenaga dan pikiranku agar tak mengecewakanmu. Aku gagal ayah, aku gagal membanggakanmu, aku gagal mempergunakan keringatmu dengan indah.
Aku tak tega membayangkan ayunan cangkulmu nan tegas membelah tanah dan mengaduk aduk tanah sampai gembur. Aku tak tega membayangkan wajah yang penuh akan pahatan kehidupan tak secerah mentari lagi. Aku tak tega membayangkan molekul-molekul air dari kulitnya jatuh terhempas ke tanah, kulit tuanya tersengat panasnya mentari, kulit tuanya tergores atau mungkin bercucuran darah.
Ma’afkan aku ayah.
***
Ujian akhir semester telah usai, aku bersama teman-teman mendapatkan ip yang cukup membanggakan dan bisa digunakan untuk mengontrak mata kuliah atas pada semester pendek. Sebagian teman-temanku ada juga yang kecewa dengan hasil perjuangannya, mereka tidak mendapatkan hak yang sama untuk mengontrak mata kuliah atas. Tapi mereka masih sangat senang  karena masih mempunyai hak untuk memperbaiki nilai pada semester pendek untuk tahun pertama kami kuliah.
Ketua tingkat atau sering kami panggil kating untuk kelas kami mulai sibuk menggurusi mata kuliah apa yang akan kami kontrak. Dia mondar-mandir, naik turun tangga untuk memperjuangkan kelas kami. Kelas kami yang terpecah menjadi dua kelompok memaksa teman yang ada pada kelompok lain membuat kating baru untuk menggurusi keperluan mereka.
Permasalahan syarat ip yang boleh mengontrak mata kuliah atas terjadi sangat sengit. Dua orang temanku mempunyai ip hanya kurang 0,01 untuk memenuhi syarat ip kontrak atas. Kegigihan temanku untuk bisa mengontrak atas membuat kating kami mengambil keputusan untuk memasuki nama mereka ke kelompok kontrak atas. Setelah memasuki nama mereka kating menghadap ketua pelaksana semester pendek. Nama kami semua di cek, terlihat dari raut muka kating yang cemas akan dua temanku yang ipnya kurang. Kecemasan kating itu ternyata benar terjadi, ketua pelaksana semester pendek mencoret kedua nama temanku. Aku melihat kating sedang di ceramahi ketua palaksana itu. Kating keluar dari ruangan dengan muka tenang dan menyampaikan dengan sangat pelan  ke kedua temanku. Mereka berdua berusaha menerima semua keadaan. Tapi aku yakin sebenarnnya mereka kecewa karena hanya kurang 0,01. Melihat temanku merasa kecewa dengan muka tegarnya, kating mulai bergerak menuju ruangan Pembantu Dekan. Kami semua tidak mengetahui pembicaraan apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Tapi yang kami tahu pembicaraan itu menghasilkan keputusan yang menggembirakan dan menjadi kabar yang sangat indah buat kedua temanku.
Kating mulai sibuk lagi dengan mata kuliah yang kami kontrak dan dosen siapa yang akan mengajar kami. Permasalahan pun terjadi ketika mata kuliah yang akan kami kontrak, dosen yang dihubungi untuk mengajar kami tidak bersedia mengajar saat semester pendek. Perdebatan pun pecah di kelas ketika memilih mata kuliah pengganti. Kating menantang kami semua untuk menggambil mata kuliah yang menurut kami mata kuliah yang akan banyak mengguras otak dan salah satu pelajaran yang menakutkan karena susahnya. Beberapa teman menolak mata kuliah itu, mereka tidak bisa membayangkan dalam waktu singkat bisa menaklukkan mata kuliah itu. Tapi hati mereka luluh mmelihat semangat teman-teman lain.
Ketika semua telah selesai, tibalah saatnya perhitungan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar setiap mata kuliah yang dikontrak. Di sinilah dimulainya permasalahanku. Aku sejak tadi hanya memikirkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk semester pendek itu. Aku tak seperti teman-teman lain yang mempunyai kehidupan yang mencukupi. Keluargaku hanya berpenghasilan biasa yang hanya cukup untuk makan dan keperluan sederhana lainnya. Aku kuliah disini hanya karena prestasiku, beasiswa itu tidak menanggung biaya semester pendek. Tapi aku ingin ikut semester pendek ini bersama teman-teman.
Selama perjalanan pulang aku hanya memikirkan bagaimana cara menyampaikan keinginanku ini pada ayah. Aku tahu kalau ayah tidak ada menyisihkan uangnya untuk keperluan semester pendekku ini. Karena semua ini diluar rencana dan perhitungan keluarga. Ayah selalu menyisihkan uang untuk kepeluan tak terduga. Tapi aku yakin sekarang uang ayah pasti untuk keperluan lebaran karena sebulan setengah lagi Idul fitri akan tiba dan ayah sangat rindu kepada orang tuanya dikampung yang sudah tiga tahun tidak dia temui karena keuangan dan kebutuhan sekolah aku dan adik yang begitu besar. Aku bingung bagaimana aku mendapatkman uang itu, apakah aku harus jualan? Kerja sambil kuliah? Tapi aku harus mendapatkan uang itu dalam waktu satu minggu ini. Mana ada tempat kerja yang akan menggaji pegawainya perminggu atau aku harus berjualan. Tapi jualan apa, gorengan? Bisakah mendapatkan keuntungan sebesar uang semester pendekku dalam waktu satu minggu. Sebaiknya aku mencoba menjual gorengan dari pada menjadi pegawai yang bakal lama menunggu nyatanya hasil pekerjaan.
Pikiranku hanya fokus pada uang dalam perjalanan, tak kusangka banyak kejadian yang aku lewatkan selama perjalanan. Ketika aku baru sampai di depan rumahku, seorang teman memanggilku dan mengatakan bahwa teman SD ku terktabrak di jalan yang aku lewati selama perjalanan pulang. Tapi aku tak tahu, sombongnya diriku hanya memikirkan uang tak tahu kejadian yang ada di dekatku. Aku kembali lagi ke tempat itu, tak ada yang aku temui di sana jejak-jejak kecelakaan tau tetesan darah atau apalah yang bisa menjadi ciri tempat itu menandakan baru terjadi kecelakaan tak tampak. Aku bertanya ke orang yang ada di sana, mereka hanya berkata yang kecelakaan tak apa-apa sekarang mereka sudah berdamai. Kecemasanku tak berarti aku pikir kecelakaan itu membuat temanku  mengalami hal yang serius.
Aku kembali ke rumah, seperti biasa keadaan rumah selalu kosong ketika aku sampai rumah karena ayah pastinya selalu setia datang ke kebunnya dan ibu sealu setia membantu ayah mengolah kebun. Dalam gubuk kecil ini aku terus berpikir untuk berjualan gorengan dan bagaimana caranya memberitahu ayah walau aku sudah menghilangkan harapan tuk mendapatkan uang dari ayah.
Tabungan sisa beasiswa hanya cukup dengan perkiraan modal yang telah aku catat untuk membuat usaha gorengan. Tapi tak cukup untuk membayar uang semester pendekku. Sepertinya aku memang harus berjualan gorengan untuk membayar semester pendekku. Aku harus segera membeli bahan untuk membuat gorengan.
Ketika aku membuka pintu, ternyata ayah dan ibu telah pulang dari kebun. Keringat ayah yang membasahi mukanya membuat aku benar-benar tidak tega untuk memberi tahu keinginanku mengikuti semester pendek. Sebelum aku mengatakan keinginanku yah terlebih dahulu membuka pembicaraan.
“ yu kamu sudah makan?” tanya ayah sambil merapikan peralatan kebunnya.” Sudah yah, ayu izin pergi ke pasar yah ya?” aku menanti jawaban ayah sambil memperhatikan raut muka ayah.
“Mau beli apa yu?” ayah menatap ayu dengan mengangkat alisnya dan senyuman menyidiknya.
“ Ayu mau beli bahan untuk membuat gorengan, yah.” Jawabanku terdengar ragu.
Aku lama menanti jawaban ayah, sambil bersiap-siap aku menggulang pertanyaan ke ayah. Ayah hanya menjawab pertanyaanku dengan senyuman
Aku pergi ke pasar menggunakan angkot yang bisa langsung sampai ke pasar tujuan. Aku beli semua yang aku perlukan, aku tak menyangka perkiraanku semuanya meleset. Barang-barang yang menjadi bahan pokok pembuatan gorengan mengalami kenaikan yang tinggi. Akhirnya uang untuk membeli buku yang telah aku kumpulkan sejak lama di dalam dompetku, aku relakan untuk menambah modal.
Aku pulang dengan asoy-asoy yang penuh, ayah hanya melihatku tanpa bertanya apa yang aku beli. Aku langsung meletakkan belanjaanku di dapur dan nerapikan sesuai dengan bahan yang aka dibuat. Setelah semuanya rapi aku masuk ke kamar dan menghitung kembali pengeluaranku. Ketika aku sibuk menghitung tiba-tiba ayah dan ibu masuk dan menatapku dengan wajah heran mereka.
“Banyaknya belanjaanmu yu? Mau jualan?” tanya ibu sambil melihat catatan pengeluaran yang aku tulis.
Aku hanya menjawab dengan senyuman dan sedikit anggukan. Hanya  terpikir olehku apa yang ada dalam pikiran ayah dan ibu.
“A...Apa kamu mau jualan yu?” tanya ayah dengan rasa ingin tahu yang memuncak.
Aku menjelaskan rencana jualan dan alasan kenapa aku ingin jualan ke ayah dan ibu. Aku melihat ayah Cuma menggangguk-angguk kepalanya. Tak tahu apa artinya setuju atau hanya mengamati alasanku. Kebalikan dari ibu dia bersedia membantu aku membuat gorengan dan adikku yang tiba-tiba muncul ke kamarku ingin membantu aku menjual gorenganku ke sekolahnya dengan syarat dia juga mendapat upah. Di tengah perbincangan ayah keluar dari kamarku.
“Ayah punya uang untuk bayar semester pendekmu, ini hasil menjual coklat kemarin. Kamu bisa menggunakannya. Lebih cepat kamu membayar, semakin membuatmu tidak mempunyai beban pikiran. Tapi jika kamu tetap ingin berjualan gorengan tidak apa. Jika Ramadhan tiba kamu jualannya di depan rumah saja, persiapkan yang banyak dan sesuai untuk orang berbuka.” Nasehat ayah yang panjang dengan nada prihatin.
Aku menerima uang ayah dengan haru, kesabaranku membuat pertolongan itu datang. Aku segera menyimpan uang itu di dalam tasku.

***
Hasil perjuangan semester pendek yang tertuda dengan datangnya Idul fitri, membuat hati aku dan teman-teman berdetak tak berirama. Selama liburan hanya memikirkan hasil belajar. Rasa nyaman liburan terganggu dengan bayangan nilai.
Kini hasil itu telah di sebarkan ke masing-masing mahasiswa yang mengontrak. Beberapa teman-temanku senang dengan hasil yang telah di dapat. Tapi sebagian lagi tidak merasakan hal yang sama termasuk aku. Perkiraan nilai yang akan aku terima pada semester pendek ini sangat diluar apa yang aku bayangkan.
Mata kulliah yang aku ikuti dengan sangat  senang dalam mengerjakan tugasnya, mata kuliah itu pulalah yang membuat hidupku serasa hancur karena mata kuliah ini bukan termasuk mata kuliah yang susah dan menyeramkan tugas. Mata kuliah yang aku golongkan susah, malah itu yang mempunyai nilai yang indah.
Aku mencoba menggingat kesalahanku dalam mata kuliah ini. Aku terus berpikirdan bertanya pada diri sendiri. Apakah aku pernah tidak kuliah? Tidak. Apa aku pernah tidak mengerjakan tugas? Tidak. Lalu kenapa? Mungkin nilai akhir yang membuat aku jatuh.
Aku iri pada temanku yang tidak pernah membuat tugas, datang selalu terlambat, jarang datang dan lain-lainlah tingkahnya. Tapi orang seperti itu mendapatkan nilai indah tanpa harus berjuang seperti aku. Apa ilmu yang dia pakai sehingga beberapa dosen bisa tahluk setelah melihat raut mukanya.
Aku benci padanya, aku benci pada diriku yang tidak bisa berjuang sedikit lebih tangguh dari ilmu yang dia pakai. Tapi biarlah aku kalah sekarang dengan pengorbananku. Lihat beberapa tahun lagi engkau akan kalah dengan keadaanmu karena kebenaran akan lebih tangguh.
SINOPSIS
Ayu yang menggantungkan kuliahnya dengan beasiswa ingin sekali ikut semester pendek. Tapi uang beasiswa yang dia dapatkan tidak menghitung semester pendek yang ingin dia ikuti.
Ayu tidak tega meminta pada ayahnya karena keadaan keluarga yang tidak begitu beruntung dalam perekonomiaan. Ayu berusaha dengan rencananya berjualan gorengan dengan uang sisa beasiswanya. Uang itu tidak mencukupi karena bahan pokok untuk membuat gorengan mengalami kenaikan yang tinggi. Uang yang tersimpan dalam dompetnya untuk membeli buku juga ikut untuk menambah modalnya.
Ayah yang melihat ayu tidak tega dan memberi uang hasil panen kebunnya. Tapi ayah masih memperbolehkan ayu untuk melanjutkan rencana berjualan gorengan..
Perjuangan untuk mengikuti semester pendek tidak sesuai dengan hasil yang dia dapatkan. Ayu merasa hancur dan malu pada ayahnya walau ayah tidak mengetahui nilai yang dia dapatkan.